Dengan napas sedikit tersengal, Ully Ulwiyah (29) menceritakan perjuangannya melawan kuman tuberkulosis (TB). Kuman itu diam-diam menyerang tubuh Ully yang saat itu masih berusia 10 tahun. Tak ada yang menyadari, batuk-batuk yang tak kunjung sembuh selama berminggu-minggu itu ternyata disebabkan oleh adanya kuman TB.
Batuk yang diderita Ully sempat membaik, tetapi kemudian kambuh lagi. Setelah beberapa tahun kemudian, baru diketahui Ully terkena penyakit tuberkulosis. Ully harus minum obat selama enam bulan.
Setengah tahun bukan waktu yang sebentar untuk menghabiskan semua obat yang diberikan dokter. Ully jenuh dan akhirnya tak tuntas minum obat sampai enam bulan. Apalagi, Ully pun merasa sudah lebih sehat, karena tak lagi batuk-batuk.
Batuknya memang hilang, tetapi kuman TB ternyata hanya istirahat sesaat. Tahun 2006, kuman TB kembali bangun dan menyerang tubuh Ully. Tak hanya minum obat, Ully juga sempat diberi obat suntik selama 2 bulan.
Tahun 2007 awal, Ully bisa bernapas lega karena dokter menyatakan tak ada lagi kuman TB berdasarkan hasil tes dahak. Sayangnya, kesenangan itu tak berlangsung lama. “Tahun 2007 akhir kena lagi, kambuh lagi sampai 2008,” kata Ully.
Tak selesai sampai di situ, tahun 2009 Ully kembali dinyatakan TB dan dirujuk ke Rumah Sakit Persahabatan untuk pemeriksaan kultur darah dan sputum atau dahak. Pengobatan saat itu masih sulit dilakukan karena Ully sedang hamil 7 bulan.
Resistensi obat
Ully rutin menjalani pemeriksaan untuk memastikan masih ada atau tidaknya kuman TB. Harapan kembali muncul ketika Januari 2011, hasil pemeriksaan kultur negatif TB dan ia kembali dinyatakan sembuh.
Tapi, tak lama berselang, tepatnya Maret 2011, Ully menderita radang paru-paru akut dan dirawat di ICU selama 10 hari. Cobaan datang bertubi-tubi. Yang paling mengagetkan, Mei 2011 Ully didiagnosis TB-MDR (multidrug resistant).
“Saya kaget karena hasil pemeriksaan kultur sebelunya kan bagus,” kata ibu tiga anak ini.
TB-MDR merupakan kelanjutan dari penyakit TB yang lebih parah. Jika sudah TB-MDR artinya, bakteri TB dalam tubuh Ully sudah resisten atau kebal terhadap berbagai jenis obat. Resistensi obat TB bisa terjadi, karena sebelumnya tidak patuh dan tuntas minum obat. Ully menyadari itu.
Setelah terkena TB-MDR, Ully harus menjalani perawatan intensif. Pengobatannya menjadi lebih lama dan mahal. Selama 8 bulan, Ully harus menjalani pengobatan suntik setiap hari, ditambah minum obat hingga 13 butir per hari.
“Setiap hari, setiap jam saya batuk. Saya sempat marah, tapi bingung mau marah ke siapa,” kenang Ully.
Obat untuk TB-MDR tentu berbeda dengan TB biasa. Obat TB-MDR memiliki efek samping yang menyakitkan. Efek samping ini sering kali membuat pasien tak kuat menjalani pengobatan.
Setiap hari Ully hanya mampu tidur selama 10 menit. Ia mengalami depresi. Wanita kelahiran 9 Maret 1987 ini kemudian dirujuk ke dokter jiwa untuk diberi obat penenang. Selama satu bulan, ia juga takut masuk ke kamar mandi karena salah satu efek samping obat adalah mual.
“ Kalau ke kamar mandi, saya pasti muntah. Kalau muntah saya takut tidak sembuh,” jelas Ully.
Dukungan keluarga
Menghadapi efek samping yang menyakitkan, Ully sempat putus asa. Berat badannya turun drastis dan merasa tidak ada perbaikan. Tubuhnya lemah, sehingga sulit berjalan atau sekedar bangun dari tidur.
“Saya merasa tidak sanggup, karena dari kecil dengan obat TB seperti sudah anak kembar. Ketemu terus sama obat-obatan itu,” cerita Ully.
Bagi Ully, yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika ia harus menjauh dari anak-anak. Setiap kali anak-anaknya ingin bermanja-manja, Ully selalu menepisnya. Ully sangat takut menularkan TB kepada orang-orang sehat di sekitarnya.
“Terasa pasrah gitu, saya bilang ke suami, saya mau stop minum obat. Enggak apa-apa saya dikeluarkan dari rumah, karena saya takut menularkan keluarga,” kata Ully.
Ully beruntung, suaminya justru memberikan dukungan tak terbatas. Ia terus diingatkan untuk minum obat agar sembuh. Ketiga anaknya pasti membutuhkan Ully. Itulah yang akhirnya membuat Ully bertahan dan semangat untuk sembuh.
“Tidak ada alasan untuk saya tidak minum obat. Support keluarga dan masyarakat penting buat kami penderita TB,” kata Ully yang pernah menceritakan perjuangannya ini di Washington, Amerika Serikat.
Maret 2013, Ully akhirnya dinyatakan sembuh dari TB-MDR oleh tim dokter RS Persahabatan, Jakarta. Pengobatan hingga sembuh total dijalani Ully selama dua tahun. Kuman TB yang diidapnya sejak kecil, ternyata telah menggerogoti paru-parunya.
“Kata dokter, fungsi paru saya yang sebelah hanya 0,2 persen. Jadi sekarang saya hidup dengan satu paru-paru,” kata Ully.
Setelah sembuh, Ully tak mau menyimpan sendiri cerita melawan TB-MDR. Ully aktif di komunitas mantan pasien TB-MDR, Pejuang Tangguh atau disingkat PETA. Perjuangan pasien TB-MDR ternyata tak hanya dalam memerangi kuman TB, tetapi stigma masyarakat dan keluarga sendiri.
Ully menceritakan, banyak teman yang terkena TB-MDR diusir dari tempat tinggal. Hubungan keluarga pun menjadi hancur, seperti diceraikan suami atau istri, bahkan seorang anak dilarang mengakui ayahnya yang menjadi pasien TB.
Ully yang sudah sembuh dari TB-MDR tak takut tertular, meski hampir setiap hari bertemu dengan pasien TB-MDR. Untuk mencegah penularan, Ully selalu memakai masker, menjaga pola hidup bersih dan sehat, serta menjaga daya tahan tubuhnya tetap baik.
Keluarga maupun masyarakat yang mengucilkan pasien TB justru menghambat cita-cita pemerintah dan dunia untuk mengeliminasi hingga eradikasi kuman TB.
Dukungan keluarga sangat penting untuk mengingatkan pasien patuh minum obat sampai tuntas sehingga sembuh dari TB dan tak lagi menularkan ke orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar