suatu hari di akhir pekan di kota Sendai, Jepang, di tahun 2006, saya pergi ke tukang cukur di dekat apartemen saya untuk memotong rambut.
Saat itu saya bekerja sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University. Sambil menikmati layanan pemotongan rambut, saya berbincang dengan tukang cukur.
“Gakusei san desuka.” tanya tukang cukur. (Anda seorang mahasiswa?)
Saya waktu itu memang tinggal di kompleks dormitory milik universitas untuk mahasiswa asing. Sebagian dari apartemen di dormitory itu diperuntukkan bagi peneliti seperti saya.
“Chigaimasu. Watashi wa daigaku no sensei desu.” (Bukan, saya profesor di universitas)
“Erai desune.”
Erai adalah ungkapan pujian atau kekaguman dalam bahasa Jepang. Artinya dekat dengan kata hebat dalam bahasa kita.
“Erai ka douka wakarimasen yo.” jawab saya. (Belum tentu juga hebat atau tidaknya.)
“Eee, datte, daigaku no sensei dakara, erai yo.” (Tapi Anda seorang profesor, Anda pasti hebat.)
“Profesor itu hanya satu jenis pekerjaan. Sama dengan tukang cukur. Punya pekerjaan itu tidak menjamin seseorang itu menjadi hebat. Dia baru hebat kalau dia melakukan pekerjaannya dengan baik. Semua orang yang melakukan pekerjaan dengan baik itu orang hebat. Tukang cukur yang melakukan pekerjaannya dengan baik adalah orang hebat, yang boleh jadi lebih hebat dari seorang profesor.” jawab saya.
Tukang cukur itu diam sejenak, dia bahkan berhenti mencukur rambut saya sejenak. Lalu berujar, “Anda lebih hebat dari yang saya bayangkan tadi.”
Hampir setahun setelah itu saya memutuskan untuk mengakhiri karir saya sebagai peneliti, itu artinya saya harus meninggalkan jabatan mentereng saya di universitas.
Saya memulai karir di dunia antah berantah yang sama sekali tak saya kenal, yaitu industri manufaktur. Saya tak punya pengalaman apa-apa, pun tak tahu apa-apa.
Saya diterima kerja hanya karena saya bisa berbahasa Jepang. Saya menjadi manejer administrasi, mengurus segala macam urusan administrasi perusahaan. Banyak pertanyaan atau komentar atas pekerjaan baru saya.
“Doktor kok jadi manejer administrasi?” Saya jawab dengan senyum atau guyonan.
Ada yang lebih sengak. “Kamu itu sudah capek-capek kuliah ke Jepang, pulang ke Indonesia cuma jadi manajer administrasi. Itu karena kamu tak punya keahlian apapun, dan kamu terpaksa pulang ke Indonesia karena sensei kamu sudah mengusir kamu.”
Lagi-lagi saya jawab dengan senyum. Saya tidak peduli. Prinsip saya, saya bekerja untuk mencari nafkah. Bagi saya tidak ada pekerjaan yang remeh. Tanpa pekerjaan administrasi yang saya lakukan perusahaan tidak bisa wujud. Maka pekerjaan saya adalah pekerjaan penting.
Tak hanya teman yang mengenal saya yang meremehkan. Saat saya berurusan dengan suatu kantor pemerintah, seorang pejabat tingkat rendah di situ memanggil saya dengan sebutan “kamu”.
Yang berurusan dengan petugas itu kebanyakan memang staf muda dari berbagai perusahaan, yang baru masuk kerja setahun atau dua tahun.
Bagi saya panggilan “kamu” itu tidak sopan bukan karena saya merasa bahwa saya orang penting. Saya hanya merasa bahwa saya orang dewasa, tidak pantas rasanya sesama orang dewasa yang bukan teman akrab memanggil lawan bicaranya dengan kata “kamu”. Tapi sudahlah, saya biarkan saja karena saya punya urusan yang lebih penting.
Suatu saat, ketika saya sedang berurusan dengan pejabat tadi, teman sekantor saya orang Jepang menelepon. Setelah pamit untuk menjawab telepon pada pejabat tadi, saya berbicara dengan teman saya dalam bahasa Jepang. Melihat saya fasih berbahasa Jepang, pejabat tadi kaget.
“Lho kamu kok fasih bahasa Jepang gitu?” tanya dia.
Rekannya yang sudah lebih dahulu mengenal saya menjawab, “Pak Hasan itu doktor lulusan Jepang. Dia 10 tahun tinggal di Jepang.”
Dia menjelaskan sambil tersenyum penuh makna. Pejabat tadi diam ternganga. Sejak itu dia tak lagi memanggil saya “kamu”.
Setahun mengurusi urusan tetek bengek administrasi, saya diangkat jadi direktur. Saya tak pernah meminta jabatan itu, namun saya juga tak menolaknya. Jenis pekerjaan saya tetap, yaitu administrasi. Tapi ruang lingkupnya meluas seiring berkembangnya perusahaan.
Dari pengalaman mengurus tetek bengek administrasi ini suatu saat saya pernah dipinang oleh perusahaan otomotif untuk menjadi Presiden Direktur.
Dari beberapa kandidat yang mereka undang saya yang akhirnya bertahan hingga seleksi akhir. Saya sudah bertemu dengan pemilik perusahaan, meninjau pabrik.
Meski akhirnya saya tidak jadi Presdir karena ada beberapa ketidak sesuaian antara perusahaan dan saya, tapi saya sudah senang karena dianggap cocok untuk posisi tersebut.
Waktu saya akan mulai pekerjaan di perusahaan ini pemilik perusahaan mengundang saya untuk bertemu. Waktu itu saya masih di Sendai, dan saya datang ke Tokyo untuk menemui dia.
“Anda sudah berkarir di dunia riset. Kini hendak masuk ke dunia bisnis. Saya sangat ingin agar pengalaman Anda di dunia riset itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan perusahaan. Saya ingin ada lebih banyak produk, saya ingin pasar yang lebih luas. Kembangkan produk, besarkan perusahaan kita.” Itu tugas yang dibebankan pada saya.
Enam tahun setengah saya bekerja di perusahaan itu. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu, belum banyak yang bisa saya lakukan. Tapi setidaknya ada pertumbuhan. Nilai penjualan meningkat hampir 4 kali lipat dari saat pertama berdiri. Demikian pula jumlah karyawan.
Pengalaman riset saya pada akhirnya tak banyak berperan dalam pekerjaan di perusahaan tadi. Namun saya ingat betul, tanpa melakukan pekerjaan yang oleh banyak orang dianggap remeh ini perusahaan saya tidak itu akan tumbuh besar.
Menariknya, ada sejumlah karyawan yang masuk, kemudian tumbuh besar di situ. Mereka kini menikmati pekerjaan di situ. Setiap kali saya berkunjung, mereka selalu datang berkumpul untuk sekedar bersalaman dan berbincang ringan dengan saya.
Saya pindah kerja karena perusahaan baru yang saya tuju menjanjikan wawasan bidang kerja yang lebih luas. Tentu saja dengan gaji yang lebih besar. Saya direkrut oleh perusahaan besar, pada posisi business development.
Kalau saya menoleh ke belakang, rasanya tak mungkin saya akan direkrut perusahaan ini kalau saya dulu tak belajar mengerjakan hal yang remeh-remeh dan tetek bengek.
Posisi saya sebagai business developer di perusahaan chemical material membutuhkan pengetahuan seputar material science yang saya dapat dari kuliah dan riset di Jepang.
Namun pengalaman itu saja tak cukup. Saya juga harus paham soal berbagai aspek bisnisnya seperti sumber daya manusia, daya dukung lingkungan, infrastruktur, regulasi, supply chain, keuangan, dan sebagainya. Hal-hal itu sudah saya dapat di perusahaan tempat saya bekerja dulu.
Tapi sekali lagi, di tempat ini pun saya tetap mengerjakan hal remeh-remeh dan segala jenis tetek bengek. Sering datang tamu dari kantor pusat dan saya mendampingi pelaksanaan tugas di sini, mereka selalu bertanya, apa pekerjaan saya.
Pertanyaan itu mungkin muncul karena posisi saya sebagaimana tertulis di kartu nama tidak relevan betul dengan tugas mereka yang saya dampingi. Saya selalu jawab,”Nandemoya.” Nandemoya adalah orang yang mengerjakan apa saja. Dalam istilah pasaran kita, palugada, apa lu mau gua ada.
Sekali lagi, tak penting benar apa jabatan atau jenis pekerjaan kita. Yang penting adalah bahwa kita mengerjakannya dengan baik sehingga pekerjaan itu bermanfaat untuk sesuatu yang lebih besar.
Sebaliknya tak jarang jabatan atau pekerjaan sendiri yang kita anggap penting ternyata hanyalah sesuatu yang sebenarnya kecil maknanya.
Sementara pekerjaan saya hingga ini belum penting benar, setidaknya saya bisa berbahagia karena dari pekerjaan ini saya bisa memberi makan anak istri saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar