"Saya pernah berbicara dalam acara induksi (pelatihan karyawan baru) staff Binus Grup. Saya tanya siapa yang lima tahun lagi masih (bekerja) di Binus. Tidak ada yang angkat tangan," tutur Rektor Universitas Binus, Prof Harjanto Prabowo, saat membuka diskusi "Retention for Millennial Generation" di Hotel Santika Premier, Jakarta Barat, Jumat (18/3/2016).
"Ketika ditanya kenapa, mereka menjawab karena belum jelas Binus ini mau ke mana," lanjut dia.
Harjanto mengatakan nilai-nilai kerja antara Gen Y dan Gen X jauh berbeda. Di masa Harjanto, yang lahir sebelum Gen Y, adanya visi, misi, dan fasilitas cukup menjadi "jaminan" untuk betah berlama-lama di sebuah perusahaan. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Gen Y. Kemudian, terbentuklah stereotype bahwa Gen Y adalah "kutu loncat", kurang loyal pada perusahaan.
"Ketika kita (Gen Y) dipertanyakan tentang loyalitas, sebenarnya kita adalah pekerja keras. Asalkan ada Wifi, di pesawat pun saya tetap bekerja. Tapi, kita butuh sebuah tujuan bermakna dari apa yang kita kerjakan," ujar salah satu panelis dari Gen Y, Regional Talent Leader LinkedIn, Christina Southgate.
Berdasarkan survei Deloitte pada 2015 lalu sebanyak 77 persen Gen Y mengaku memilih tempat kerja karena melihat tujuan atau "cita-cita" perusahaan tersebut. Sekitar 83 persen lainnya memilih bekerja di perusahaan yang berkontribusi positif terhadap masyarakat sekitar.
Tonggak estafet Acara diskusi "Retention for Millennial Generation", di Hotel Santika Premier, Jakarta Barat, Jumat (18/3/2016).
Christina mengatakan saat ini 65 persen kantornya sudah dihuni Gen Y. Bahkan, pada 2014 lalu Lembaga Sensus AS memprediksi sebanyak 55 persen dari populasi pekerja produktif di ASEAN akan didominasi orang berusia 20-39 tahun pada 2020.
"Angkatan kerja yang masuk sudah pasti dari Gen Y, jadi kita (perusahaan) tidak bisa menghindar," kata panelis lain, Head Talent Management PT Bank Maybank Indonesia, Paulus Danang Yanri Hatmoko.
"Nasabah juga ternyata lebih suka dilayani anak-anak muda, yang penting mereka capable. Pastinya kita harus sudah beri mereka pelatihan cukup," lanjutnya.
Lalu, faktor apa yang bisa membuat para Gen Y duduk tenang di satu perusahaan cukup lama?
Terkadang, embel-embel gaji besar saja belum cukup menahan mereka. Banyak hal bisa jadi pertimbangan.
"Saya pernah buat semacam kompetisi internal, hadiahnya cukup menarik, yaitu jadi direktur selama tiga hari. Tapi, ternyata itu tidak laku. Mereka (Gen Y) tidak mau," ucap Paulus.
Hasil survei Forbes pada 2014 bahkan menunjukkan 88 persen warga Gen Y memilih lingkungan kerja yang kolaboratif daripada kompetitif. Sebanyak 74 persen menginginkan jadwal kerja fleksibel, sedangkan 79 persen lain menginginkan atasan menjadi mentor atau coach.
"Gen Y membutuhkan panggung untuk eksis, mereka butuh penghargaan, ingin dilibatkan (dalam suatu proyek)," ucap Small and Mid Market Solution & Partner Group Director Microsoft Indonesia, Pieter Lydian Sutiono yang juga mengisi acara diskusi.
"Mereka berpikirnya, enggak apa-apa enggak dibayar yang penting saya di sini bisa belajar sesuatu. Mereka ini cepat bosan kalau (pekerjaan) itu-itu saja," lanjut Pieter.
Namun begitu, dia juga menekankan bahwa keterlibatan Gen Y dalam proyek penting perusahaan harus terlebih dulu disetujui oleh jajaran eksekutif dalam perusahaan. Mereka pun wajib membuka diri terhadap pemikiran dan masukan baru.
"Lalu supaya sustain di bawah (Gen Y) juga harus di-support," tutur Pieter.
Di sisi lain, Paulus berpendapat Gen Y perlu pula dilatih agar bisa bekerja dengan atasan mereka yang kebanyakan beda generasi. Ini penting agar sinergi dalam perusahaan bisa berjalan lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar